KEUTAMAAN DAN KEISTIMEWAAN BULAN MUHARRAM Bag 1
Posted by KUA GRABAG SATU PURWOREJO on 21.09 with No comments
1.
Penamaan Bulan Ini
Kata Muharram secara bahasa, berarti
diharamkan. Abu ‘Amr ibn Al ‘Alaa berkata, “Dinamakan bulan Muharram karena
peperangan (jihad) diharamkan pada bulan tersebut”(1); jika saja
jihad yang disyariatkan lalu hukumnya menjadi terlarang pada bulan tersebut
maka hal ini bermakna perbuatan-perbuatan yang secara asal telah dilarang oleh
Allah Ta’ala memiliki penekanan pengharaman untuk lebih dihindari secara khusus
pada bulan ini. Pada bulan ini Allah melarang umatnya untuk tidak melakukan
perbuatan yang dilarang-Nya. Seperti misalnya berperang, seperti yang telah
dilakukan oleh orang-orang quraisy sebelum datangnya agama Islam.
2. Beberapa
Keutamaan Bulan Muharram
a. Bulan Muharram Merupakan Salah Satu
Diantara Bulan-Bulan Haram
Allah Ta’ala berfirman:
إِنَّ عِدَّةَ الشُّهُورِ عِنْدَ
اللَّهِ اثْنَا عَشَرَ شَهْرًا فِي كِتَابِ اللَّهِ يَوْمَ خَلَقَ السَّمَوَاتِ
وَالْأَرْضَ مِنْهَا أَرْبَعَةٌ حُرُمٌ ذَلِكَ الدِّينُ الْقَيِّمُ فَلَا تَظْلِمُوا
فِيهِنَّ أَنْفُسَكُمْ وَقَاتِلُوا الْمُشْرِكِينَ كَافَّةً كَمَا
يُقَاتِلُونَكُمْ كَافَّةً وَاعْلَمُوا أَنَّ اللَّهَ مَعَ الْمُتَّقِينَ
“Sesungguhnya bilangan bulan pada
sisi Allah ialah dua belas bulan, dalam ketetapan Allah di waktu Dia
menciptakan langit dan bumi, di antaranya empat bulan haram. Itulah (ketetapan)
agama yang lurus, maka janganlah kamu menganiaya diri kamu dalam bulan yang
empat itu, dan perangilah kaum musyrikin itu semuanya sebagaimana merekapun
memerangi kamu semuanya; dan ketahuilah bahwasanya Allah beserta orang-orang
yang bertakwa.” (Q.S.
at Taubah :36).
Pada ayat ini menerangkan kepada
kita bahwa setelah penciptaan langit dan bumi Allah menciptakan bulan yang
berjumlah 12 bulan yang mana bulan tersebut merupakan bulan tahun Hijriah.
Dalam bulan-bulan tersebut terdapat 4 bulan yang paling istimewa diantara bulan
yang lainnya, salah satunya adalah bulan Muharram. Pada bulan Muharram Allah
mengharamkan umat islam melakukan perbuatan yang dilarang, (membunuh,
berperang). Tetapi disana juga menjelaskan bahwa orang muslim harus memerangi
orang kafir yang selalu mengajak kepada kehancuran. Yang dilakukan orang kafir,
adalah bukan karena ingin merampas harta seperti yang dilakukan sebelum
datangnya islam, merebut kekuasaan, balas dendam seperti yang telah dialami
ketika umat islam mengusir orang kafir untuk meninggalkan Makkah dan Madinah,
tetapi mereka menginginkan agama Islam hancur.
Salah seorang ahli tafsir dari
kalangan tabi’in yang bernama Qatadah bin Di’amah Sadusi rahimahulloh
menyatakan, “Amal sholeh lebih besar pahalanya jika dikerjakan di
bulan-bulan haram sebagaimana kezholiman di bulan-bulan haram lebih besar
dosanya dibandingkan dengan kezholiman yang dikerjakan di bulan-bulan lain
meskipun secara umum kezholiman adalah dosa yang besar”(2).
Disinilah yang menjadi pokok pada
bulan Muharram, bahwa diharamkan umat-Nya melakukankan berperang atau membunuh
pada bulan-bulan istimewa tersebut, karena apabila melanggarnya, maka dosanya
akan dilipat gandakan dari bulan-bulan yang lain. Dengan adanya larang tersebut
berarti Allah juga akan memberikan pahala bagi umat-Nya yang mengerjakan alaman
seperti yang disunahkan.
Dalam hadis yang diriwayatkan dari
sahabat Abu Bakrah radhiyallohu anhu, Rasulullah shallallohu ‘alaihi wasallam
menjelaskan keempat bulan haram yang dimaksud :
إِنَّ
الزَّمَانَ قَدْ اسْتَدَارَ كَهَيْئَتِهِ يَوْمَ خَلَقَ اللَّهُ
السَّمَوَاتِ وَالْأَرْضَ السَّنَةُ اثْنَا عَشَرَ شَهْرًا مِنْهَا
أَرْبَعَةٌ حُرُمٌ ثَلَاثٌ مُتَوَالِيَاتٌ ذُو الْقَعْدَةِ وَذُو الْحِجَّةِ
وَالْمُحَرَّمُ وَرَجَبُ مُضَرَ الَّذِي بَيْنَ جُمَادَى وَشَعْبَانَ
“Sesungguhnya zaman itu berputar
sebagaimana bentuknya semula di waktu Allah menciptakan langit dan bumi.
Setahun itu ada dua belas bulan diantaranya
terdapat empat bulan yang dihormati : 3 bulan berturut-turut; Dzulqa’dah,
Dzulhijjah dan Muharram serta satu bulan yang terpisah yaitu Rajab Mudhar, yang
terdapat diantara bulan Jumada Akhiroh dan Sya’ban.” [ HR. Bukhari
(3197) dan Muslim (1679) ]
Para ulama bersepakat bahwa keempat
bulan haram tersebut memiliki keutamaan dibandingkan dengan bulan-bulan yang
lain selain Ramadhan, namun demikian mereka berbeda pendapat, bulan apakah yang
paling afdhal diantara keempat bulan haram yang ada ? Imam Hasan Al Bashri
rahimahulloh dan beberapa ulama lainnya berkata, “Sesungguhnya Allah telah
memulai waktu yang setahun dengan bulan haram (Muharram) lalu menutupnya
juga dengan bulan haram (Dzulhijjah) dan tidak ada bulan dalam setahun setelah
bulan Ramadhan yang lebih agung di sisi Allah melebihi bulan Muharram” (3).
b.
Bulan Muharram disifatkan sebagai Bulan Allah
Kedua belas bulan yang ada adalah
makhluk ciptaan Allah, akan tetapi bulan Muharram meraih keistimewaan khusus
karena hanya bulan inilah yang disebut sebagai “syahrullah” (Bulan Allah).
Rasulullah shallallohu alaihi wasallam bersabda :
أَفْضَلُ
الصِّيَامِ بَعْدَ رَمَضَانَ شَهْرُ اللَّهِ الْمُحَرَّمُ وَأَفْضَلُ
الصَّلَاةِ بَعْدَ الْفَرِيضَةِ صَلَاةُ اللَّيْلِ
“Puasa yang paling utama setelah Ramadhan adalah puasa di bulan
Allah (yaitu) Muharram. Sedangkan shalat yang paling utama setelah shalat
fardhu adalah shalat malam”.[ H.R. Muslim (11630) dari sahabat Abu
Hurairah radhiyallohu anhu]
Hadits ini mengindikasikan adanya
keutamaan khusus yang dimiliki bulan Muharram karena disandarkan kepada lafzhul
Jalalah (lafazh Allah). Para Ulama telah menerangkan bahwa ketika suatu makhluk
disandarkan pada lafzhul Jalalah maka itu mengindikasikasikan
tasyrif (pemuliaan) terhadap makhluk tersebut, sebagaimana istilah baitullah
(rumah Allah) bagi mesjid atau lebih khusus Ka’bah dan naqatullah (unta
Allah) istilah bagi unta nabi Sholeh ‘alaihis salam dan lain sebagainya.
Al Hafizh Abul Fadhl Al ‘Iraqy rahimahulloh
menjelaskan, “Apa hikmah dari penamaan Muharram sebagai syahrulloh (bulan
Allah) sementara seluruh bulan milik Allah ? Mungkin dijawab bahwa hal itu
dikarenakan bulan Muharram termasuk diantara bulan-bulan haram yang Allah
diharamkan padanya berperang, disamping itu bulan Muharram adalah bulan perdana
dalam setahun maka disandarkan padanya lafzhul Jalalah (lafazh Allah) sebagai
bentuk pengkhususan baginya dan tidak ada bulan lain yang Nabi Muhammad
shallallohu alaihi wasallam sandarkan kepadanya lafzhul Jalalah melainkan bulan
Muharram” (4)
As Suyuthi mengatakan: Dinamakan
syahrullah – sementara bulan yang lain tak mendapat gelar ini – karena nama
bulan ini “Al Muharram” nama nama islami. Berbeda dgn bulan-bulan lainnya.
Nama-nama bulan lainnya sudah ada di zaman jahiliyah. Sementara dulu, orang
jahiliyah menyebut bulan Muharram ini dgn nama : Shafar Awwal. Kemudian ketika
islam datanng, Allah ganti nama bulan ini dgn Al Muharram, sehingga nama bulan
ini Allah sandarkan kepada dirinya (Syahrullah). (5)
Bulan ini juga sering dinamakan:
Syahrullah Al Asham (Bulan Allah yang Sunyi). Dinamakan demikian, karena sangat
terhormatnya bulan ini (6). karena itu, tak boleh ada sedikitpun
riak & konflik di bulan ini.
3. Amalan Yang
Dianjurkan di Bulan Muharram
Sebagaimana telah disebutkan di atas
dari perkataan Qatadah rahimahulloh bahwa amalan sholeh dilipatgandakan
pahalanya di bulan-bulan haram, dengan demikian secara umum segala jenis
kebaikan dianjurkan untuk diperbanyak dan ditingkatkan kualitasnya di bulan
Muharram. Adapun ibadah yang dianjurkan secara khusus pada bulan ini adalah
memperbanyak puasa sunnah sebagaimana yang telah disebutkan dalam hadits
yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah radhiyallohu ‘anhu, beliau berkata
Rasulullah shallallohu alaihi wasallam bersabda,
أَفْضَلُ
الصِّيَامِ بَعْدَ رَمَضَانَ شَهْرُ اللَّهِ الْمُحَرَّمُ وَأَفْضَلُ
الصَّلَاةِ بَعْدَ الْفَرِيضَةِ صَلَاةُ اللَّيْلِ
“Puasa yang paling utama setelah Ramadhan adalah
puasa di bulan Allah (yaitu) Muharram dan shalat yang paling utama setelah
puasa wajib adalah sholat lail” [ HR. Muslim (11630) ]
Mulla Al Qari’ menyebutkan bahwa
hadits di atas sebagai dalil anjuran berpuasa di seluruh hari bulan Muharram.
Namun ada satu masalah yang kadang ditanyakan berkaitan dengan hadits ini yaitu,
‘Bagaimana memadukan antara hadits ini dengan hadits yang menyebutkan bahwa
Nabi shallallohu alaihi wasallam memperbanyak puasa di bulan Sya’ban yang
menjadi bulannya Allah, bukan di bulan Muharram? Imam Nawawi rahimahullah telah
menjawab pertanyaan ini, beliau mengatakan boleh jadi Rasulullah
shallallohu alaihi wasallam belum mengetahui keutamaan puasa Muharram kecuali
di akhir hayat beliau atau mungkin ada saja beberapa udzur yang menghalangi
beliau untuk memperbanyak berpuasa di bulan Muharram seperti beliau mengadakan
safar atau sakit (7).
Kemudian anjuran berpuasa di bulan
Muharram ini lebih dikhususkan dan ditekankan hukumnya pada hari yang dikenal
dengan istilah Yaumul ‘Asyuro, yaitu pada tanggal sepuluh bulan Muharram
(‘asyuro). ‘Asyuro berasal dari kata ‘Asyarah yang berarti sepuluh. Pada hari
‘Asyuro ini, Rasulullah shallahu alaihi wasallam mengajarkan kepada umatnya
untuk melaksanakan satu bentuk ibadah dan ketundukan kepada Allah Ta’ala yaitu
ibadah puasa, yang kita kenal dengan puasa Asyuro.
4.
Hadits-Hadits Disyariatkannya Puasa ‘Asyuro
Adapun hadis-hadis yang menjadi
dasar ibadah puasa tersebut banyak, kami akan sebutkan diantaranya dengan
pengklasifikasian sebagai berikut:
Kaum Yahudi juga berpuasa di hari
Asyuro bahkan menjadikannya sebagai Ied (hari raya)
عَنْ
ابْنِ عَبَّاسٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا قَالَ قَدِمَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الْمَدِينَةَ فَرَأَى الْيَهُودَ تَصُومُ يَوْمَ عَاشُورَاءَ
فَقَالَ مَا هَذَا قَالُوا هَذَا يَوْمٌ صَالِحٌ هَذَا يَوْمٌ نَجَّى
اللَّهُ بَنِي إِسْرَائِيلَ مِنْ عَدُوِّهِمْ فَصَامَهُ مُوسَى قَالَ فَأَنَا
أَحَقُّ بِمُوسَى مِنْكُمْ فَصَامَهُ وَأَمَرَ بِصِيَامِهِ
Ibnu Abbas radhiyallohu anhuma
berkata : Ketika Rasulullah shallallohu alaihi wasallam. tiba di Madinah,
beliau melihat orang-orang Yahudi berpuasa pada hari ‘ Asyura, maka Beliau
bertanya : “Hari apa ini?. Mereka menjawab, “Ini adalah hari istimewa, karena
pada hari ini Allah menyelamatkan Bani Israil dari musuhnya, Karena itu Nabi
Musa berpuasa pada hari ini. Rasulullah shallallohu alaihi wasallam pun
bersabda, “Aku lebih berhak terhadap Musa daripada kalian“. Maka
beliau berpuasa dan memerintahkan shahabatnya untuk berpuasa di tahun yang akan
datang. [H.R. Bukhari (1865) dan Muslim (1910) ]
Hadis lain menjelaskan:
عَنْ
أَبِي مُوسَى رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَالَ كَانَ يَوْمُ عَاشُورَاءَ يَوْمًا
تُعَظِّمُهُ الْيَهُودُ وَتَتَّخِذُهُ عِيدًا فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى
اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ صُومُوهُ أَنْتُمْ
Dari Abu Musa radhiyallohu anhu
berkata, “Hari ‘Asyuro adalah hari yang diagungkan oleh orang Yahudi dan mereka
menjadikannya sebagai hari raya, maka Rasulullah shallallohu alaihi wasallam
bersabda (kepada ummatnya), “Berpuasalah kalian (pada hari itu)” [HR.
Bukhari (1866) dan Muslim (1912), lafal hadits ini menurut periwayatan imam
Muslim)
Kaum Quraiys di zaman Jahiliyah juga
berpuasa Asyuro dan puasa ini diwajibkan atas kaum muslimin sebelum kewajiban
puasa Ramadhan
عَنْ
عَائِشَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا قَالَتْ كَانَ يَوْمُ عَاشُورَاءَ تَصُومُهُ
قُرَيْشٌ فِي الْجَاهِلِيَّةِ وَكَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ يَصُومُهُ فَلَمَّا قَدِمَ الْمَدِينَةَ صَامَهُ وَأَمَرَ
بِصِيَامِهِ فَلَمَّا فُرِضَ رَمَضَانُ تَرَكَ يَوْمَ عَاشُورَاءَ فَمَنْ
شَاءَ صَامَهُ وَمَنْ شَاءَ تَرَكَهُ . متفق عليه.
Dari Aisyah radhiyallohu anha
berkata, Kaum Qurays pada masa Jahiliyyah juga berpuasa di hari ‘Asyuro dan
Rasulullah shallallohu alaihi wasallam juga berpuasa pada hari itu, ketika
beliau telah tiba di Medinah maka beliau tetap mengerjakannya dan memerintahkan
ummatnya untuk berpuasa. Setelah puasa Ramadhan telah diwajibkan beliau pun
meninggalkan (kewajiban) puasa ‘Asyuro, seraya bersabda, “Barangsiapa yang
ingin berpuasa maka silakan tetap berpuasa dan barangsiapa yang tidak ingin
berpuasa maka tidak mengapa” [ HR. Bukhari (1863) dan Muslim(1897) ]
عن
عَبْد اللَّهِ بْن عُمَرَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا أَنَّ أَهْلَ
الْجَاهِلِيَّةِ كَانُوا يَصُومُونَ يَوْمَ عَاشُورَاءَ وَأَنَّ
رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ صَامَهُ وَالْمُسْلِمُونَ
قَبْلَ أَنْ يُفْتَرَضَ رَمَضَانُ فَلَمَّا افْتُرِضَ رَمَضَانُ قَالَ
رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِنَّ عَاشُورَاءَ يَوْمٌ مِنْ
أَيَّامِ اللَّهِ فَمَنْ شَاءَ صَامَهُ وَمَنْ شَاءَ تَرَكَهُ (رواه مسلم)
Dari Abdullah bin Umar radhiyallohu
anhuma bahwa kaum Jahiliyah dulu berpuasa Asyuro dan Rasulullah shallallohu
alaihi wasallam serta kaum muslimin juga berpuasa sebelum diwajibkan puasa
Ramadhan, Rasulullah shallallohu alaihi wasallam bersabda, “Sesungguhnya
hari ‘Asyuro termasuk hari-hari Allah, barangsiapa ingin maka berpuasalah dan
siapa yang ingin meninggalkan maka boleh” [ HR. Muslim(1901) ]
Perhatian Rasulullah shallallohu
alaihi wa sallam dan para sahabat ridwanullohi alaihim ajmain yang begitu besar
terhadap puasa ‘Asyuro
عَنْ
ابْنِ عَبَّاسٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا قَالَ مَا رَأَيْتُ النَّبِيَّ صَلَّى
اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَتَحَرَّى صِيَامَ يَوْمٍ فَضَّلَهُ عَلَى غَيْرِهِ
إِلَّا هَذَا الْيَوْمَ يَوْمَ عَاشُورَاءَ وَهَذَا الشَّهْرَ يَعْنِي شَهْرَ
رَمَضَانَ
“Aku tidak pernah melihat Rasulullah
shallallohu alaihi wasallam,
berupaya keras untuk puasa pada suatu hari melebihi yang lainnya kecuali
pada hari ini, yaitu hari ‘Asyura dan bulan ini yaitu Ramadhan.” [ H.R.
Bukhari (1867) dan Muslim(1914) ]
عَنْ
الرُّبَيِّعِ بِنْتِ مُعَوِّذِ بْنِ عَفْرَاءَ قَالَتْ أَرْسَلَ رَسُولُ اللَّهِ
صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ غَدَاةَ عَاشُورَاءَ إِلَى قُرَى الْأَنْصَارِ
الَّتِي حَوْلَ الْمَدِينَةِ مَنْ كَانَ أَصْبَحَ صَائِمًا فَلْيُتِمَّ صَوْمَهُ
وَمَنْ كَانَ أَصْبَحَ مُفْطِرًا فَلْيُتِمَّ بَقِيَّةَ يَوْمِهِ فَكُنَّا بَعْدَ
ذَلِكَ نَصُومُهُ وَنُصَوِّمُ صِبْيَانَنَا الصِّغَارَ مِنْهُمْ إِنْ شَاءَ
اللَّهُ وَنَذْهَبُ إِلَى الْمَسْجِدِ فَنَجْعَلُ لَهُمْ اللُّعْبَةَ مِنْ
الْعِهْنِ فَإِذَا بَكَى أَحَدُهُمْ عَلَى الطَّعَامِ أَعْطَيْنَاهَا إِيَّاهُ
عِنْدَ الْإِفْطَارِ
Dari Rubai’ bintu Mu’awwidz bin
‘Afra’ radhiyallohu ‘anha berkata, Nabi Muhammad shallallohu alaihi wasallam di
pagi hari Asyuro mengutus ke perkampungan kaum Anshar yang berada di sekitar
Medinah (pesan), “Barangsiapa yang tidak berpuasa hari itu hendaknya
menyempurnakan sisa waktu di hari itu dengan berpuasa dan barangsiapa yang
berpuasa maka hendaknya melanjutkan puasanya”. Rubai’ berkata, “Maka sejak
itu kami berpuasa pada hari ‘Asyuro dan menyuruh anak-anak kami berpuasa dan
kami buatkan untuk mereka permainan yang terbuat dari kapas lalu jika salah
seorang dari mereka menangis karena ingin makan maka kami berikan
kepadanya permainan tersebut hingga masuk waktu berbuka puasa” [ HR. Bukhari
(1960) dan Muslim (1136), redaksi hadits ini menurut periwayatan Imam Muslim
Bersambung ke Bag 2
Categories: Artikel
0 komentar:
Posting Komentar